Anggaplah dia bus.
Bukan sekedar bus.
Bus ini hanya datang sekali seumur hidup.
Semua orang ingin menaikinya.
Tapi harganya mahal.
Anggaplah dia bus.
Bukan sekedar bus.
Dia belum akan datang sekarang.
Seperti aku pun yang belum siap bertemunya.
Aku belum bisa membayarnya.
Anggaplah dia bus.
Bukan sekedar bus.
Dia menawarkan keindahan di dalamnya.
Tapi bukan perjalanan yang akan terus mulus.
Dia hanya berjanji, tidak akan menurunkanku di tengah jalan.
Terlunta-lunta, seorang diri.
Anggaplah dia bus.
Bukan sekedar bus.
Aku tahu berapa harga untuk menaikinya.
Dan perlu waktu bagiku untuk mempersiapkannya.
Aku pun tahu, dia sedang mempersiapkannya juga.
Anggaplah dia bus.
Bukan sekedar bus.
Dia hanya membuka 2 kali seumur hidupku.
Hanya untukku dan dia.
Penghuni sejati bus itu.
Kami akan duduk bersama disitu.
Karena itu bus kami.
Kami tidak ingin berada di bus itu
dalam keadaan hampir jatuh.
Kami tidak ingin berada di bus itu
berpegang pada besi di pintu.
Berusaha agar tidak jatuh seumur hidup kami.
Kami tidak akan menyadari bahwa kursi itu tidak sempurna,
rusak seiring usia kami dan bus itu.
Yang kami tahu, bus itu untuk kami,
kami pemiliknya. Kami hidupnya.
Sekarang aku disini.
Tidak tahu kapan busku tiba.
Kapan dia akan menemaniku menunggu bus
dan menaikinya bersama-sama.
Kapan aku bahkan sadar bahwa dia bus itu.
Agar aku tidak kehilanganya.
Yang aku tahu.
Sekarang.
Dia bukan sekedar bus.
Sebutlah dia sebuah analogi.
Dari sesuatu yang indah.
Yang menghidupkan.
Pelajaran pertama dan terakhir dalam hidup,
bernama CINTA.
G.S
No comments:
Post a Comment